Media berbagi pengetahuan, pengalaman, informasi terkait penerapan kurikulum 2013, file aplikasi yang berguna bagi pendidikan.

Kisah Air Mata Kejujuran Ka'ab bin Malik

Bismillahirrahmanirrahim.
Kaab bin Malik
Matahari gurun kala itu sangat tidak ramah.  Seakan begitu dekat di ubun-ubun kepala yang berada di bawahnya.  Dan hari itu, Rasulullah mengumumkan perang kepada segenap kaum muslimin.  Perjalanan yang panas dan teramat jauh, serta lawan yang benar-benar tangguh membuat beliau berupaya untuk mempersiapkan pasukannya jauh-jauh hari dengan rencana yang sangat matang.  Padahal sebelumnya dalam setiap peperangan beliau selalu merahasiakannya.

Adalah seorang sahabat bernama Ka'ab bin Malik.  Dia salah seorang sahabat yang tidak pernah absen pada setiap peperangan bersama Rasulullah SAW, kecuali dalam peperangan yang justru telah terencana ini.  Kala orang-orang menuju Tabuk, kala seluruh kaum muslimin menyambut seruan mulia ini, Ka'ab bin Malik tertinggal karena kemalasannya sendiri.

"Ketidakikutsertann-ku dalam perang Tabuk itu memang kelalaianku sendiri karena urusan dunia,"ujarnya.  "Padahal ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya.  Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta.  Akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memilikinya," terangnya.
Ka'ab bin Malik bercerita :

Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan yang akan berangkat.  Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta.  Namun tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, 'Aku bisa melakukannya kalau aku mau.!'

Akhirnya, aku terhanyut oleh berbagai niatan yang berujung pada satu keragu-raguan.  Hingga aku melihat para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.  Timbul niatku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh.  Namun aku tidak melakukannya, rasa malas telah menghampiri bahkan menguasai diriku.

Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut dalam peperangan itu.  Akan tetapi, aku benar-benar merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah SAW meninggalkan Madinah.  Bila aku keluar rumah, aku seolah dikucilkan.  Karena aku hanya melihat orang-orang yang diragukan keislamannya.  Baik orang-orang yang sudah mendapat izin Allah karena uzur.  Kalau tidak, mereka orang-orang munafik.  Padahal, aku merasa aku tidak termasuk dalam keduanya.

Konon, Rasulullah SAW tidak pernah menyebut-nyebut namaku kecuali saat sampai ke Tabuk.

Setiba di sana, ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau bertanya, "Apa yang dilakukan Ka'ab bin Malik.?"

Seorang dari Bani Salamah menjawab, "Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya.!"

Mu'az bin Jabal menyangkal, "Buruk benar ucapanmu itu.! Demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja.!" Rasulullah SAW pun hanya terdiam.

Waktu pun berlalu.  Aku mendengar Rasulullah SAW hendak kembali dari kancah Tabuk.  Pikiranku sibuk dengan berbagai alasan palsu untuk diajukan ke hadapan Rasulullah SAW.  Aku terus bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya.

Aku pun meminta pendapat dari bebrapa anggota keluargaku yang terkenal berpikiran bijak.  Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu.  Aku merasa yakin, aku tidak akan pernah mampu menyelamatkan diri dengan kebatilan.  Sama sekali.  Maka aku bertekad akan menemui Rasulullah SAW dan mengatakan yang sebenarnya.

Pagi-pagi Rasulullah SAW memasuki kota Madinah.  Sudah menjadi kebiasaan kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama kali yang dilakukannya adalah menuju masjid dan shalat dua rakaat.  Demikian pula usai dari Tabuk.  Selesai shalat beliau duduk melayani tamu-tamunya.  Orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk pun berdatangan dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu demi menguatkan alasan mereka.  Jumlah mereka kurang lebih delapun puluh orang.  Rasulullah SAW menerima alasan lahir mereka dan mereka pun meperbaharui baiat setia mereka.  Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah.  Sampai akhirnya tibalah giliranku.

Aku datang mengucapkan salam kepada beliau.  Beliau membalas dengan senyum pula.  Namun jelas terlihat, itu adalah senyum yang memendam amarah.  Beliau memanggilku, "Kemarilah..!"

Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya.  Beliau tiba-tiba bertanya, "Wahai Ka'ab, mengapa dirimu tidak ikut berperang..? Bukankah engkau telah menyatakan baiat kesetiaanmu..?"

Aku menjawab, "Ya Rasulullah.! Demi Allah, kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentu aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dusta dan dalil lainnya.  Namun demi Allah aku sadar, kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkaupun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku, kalau kini aku berbicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kesalahanku. Wahai Rasulullah SAW demi Allah, aku tidak punya uzur.  Demi Allah, keadaan ekonomiku tidak pernah stabil dibandingkan tatkala pertama kali aku mengikutimu.!"

"Kalau begitu, tidak salah lagi.  Kini, pergilah kau hingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu.!"tegas Rasulullah SAW.

Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah.  "Demi Allah, kami belum pernah melihatmu melakukan kesalahan sebelum ini.  Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu telah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah..!" kata mereka keheranan.

Mereka terus saja menyalahkan tindakanku hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasulullah SAW untuk membawa alasan palsu.  Bukankah orang lain juga melakukan hal itu.  Aku tanyai mereka, "Apakah ada orang yang bernasib sama denganku..?"

Mereka menjawab, "Ya..! ada dua orang yang menjawab sama denganmu.  Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama denganmu dari Rasulullah..!"

"Siapa mereka..?" tanyaku.

"Murarah bin Rabi'ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi," jawab mereka.

Dua nama lelaki shalih yang pernah ikut dalam perang Badar.  Begitu kudengar dua nama itu, aku bergegas pergi menemui mereka.

Tak lama berselang, aku mendengar Rasulullah melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga.  Pada saat itu ada delapan puluh orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.

Kami pun mengucilkan diri dari masyarakat umum.  Mereka bersikap lain kepada kami.  Pada waktu itu seakan aku hidup di suatu negeri yang berbeda dari negeri yang aku kenal sebelumnya.  Sedangkan kedua temanku tadi mendekam di rumah masing-masing.  Mereka menangisi nasib dirinya masing-masing.  Aku termasuk orang yang paling kuat dan tabah di antara mereka.  Aku tetap keluar untuk shalat jamaah dan keluar masuk pasar meski tak seorangpun yang mau berbicara denganku atau menanggapi ucapanku.  Aku juga datang ke majelis Rasulullah SAW.  Sesudah beliau shalat, aku mengucapkan salam sembari hati kecilku terus bertanya dan memperhatikan bibir beliau.  Apakah beliau mau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak.

Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau.  Aku mencuri pandang melihat ke arah beliau.  Kalau aku bangkit hendak shalat, ia melihat kepadaku.  Namun apabila aku melihat kepadanya, ia segera memalingkan wajahnya.  Belum lagi sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali.

Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar rumah Abu Qatadah, saudara misanku.  Ia saudara yang paling aku cintai.  Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.  Aku menegurnya, "Abu Qatadah..! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya..?" Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap diam.  Aku mengulanginya sekali lagi, tetapi ia hanya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui..!"

Air mataku pun meleleh.  Aku kembali dengan penuh rasa kecewa.

Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datang orang awam dari negeri Syam.  Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah.  Ia bertanya, "Siapakah yang mau menolongku menemui Ka'ab bin Malik..?"  Orang-orang di pasar menunjuk ke arahku.  Lalu orang itu menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan.  Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, "...Selain itu, sahabatmu telah bersikap dingin terhadapmu.  Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna.  Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan.  Kami akan menghiburmu..!"

Ketika membaca surat itu hatiku berkata, 'Ini juga salah satu ujian..!' Lantas aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.

Sampailah aku pada hari yang ke-40, di pengasingan dalam kampung halamanku sendiri.  Aku terus menantikan turunnya wahyu dari Allah.  Namun tiba-tiba datanglah seorang utusan Rasulullah SAW menyampaikan pesannya, "Rasulullah memerintahkan kamu untuk menjauhi istrimu..!" kata utusan tadi.

Aku semakin sedih mendengar hal ini, namun aku tetap pasrah kepada Allah.  Aku tanya utusan tadi,"Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang harus aku lakukan..?" Ia menjelaskan, "Tidak, tapi kamu harus menjauhinya dan mejauhkannya darimu..!"

Ternyata Rasulullah juga mengirimkan pesan yang sama kepada dua sahabatku yang bernasib sama denganku.  Aku langsung memerintahkan istriku, "Pergilah kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukum-Nya kepada kita..!"

Adapun istri Hilal bin Umaiyah, ia datang menghadap Rasulullah SAW memohon keringanan, "Wahai Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah sudah sangat tua dan ia tidak memiliki seorang pembantu.  Apakah engkau keberatan kalau aku melayaninya di rumah..?" tanyanya.  "Tetapi ia tidak boleh mendekatimu..!" jawab Rasulullah.  Istri Hilal menjelaskan, "Ya Rasulullah..! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi.  Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini..!"

Salah seorang saudaraku juga mengusulkan kepadaku, "Cobalah minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayani dirimu seperti halnya istri Hilal bin Umayah..!" Aku jawab dengan tegas, "Tidak, aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah.  Apa yang akan beliau katakan nanti, padaha aku masih muda."

Hari-hari pun berlalu.  Aku hidup seorang diri di rumah.  Hingga lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam.

Subuh menjelang pada hari ke-50 pengasinganku.  Ketika tengah berzikir memohon ampunan dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba terdengar teriakan orang-orang memanggil namaku.

"Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah..! Wahai Ka'ab bin Malik bergembiralah..!"

Mendengar berita itu aku langsung bersujud memanjatkan syukur kepada Allah.  Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan.  Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.

Rasulullah menyampaikan berita kepada para sahabatnya usai shalat Subuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang sahabatku.  Orang-orang pun berlomba mendatangi kami, hendak menceritakan berita gembira itu.  Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari mendahului yang berkuda.  Sesudah keduanya sampai dihadapanku, aku berikan kepada kedua orang itu dua setel pakaian yang aku miliki.  Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.

Aku segera mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasulullah.  Ternyata aku telah disambut banyak orang dan mereka mengucapkan selamat kepadaku.  Demi Allah, tidak seorangpun dari Muhajirin yang berdiri memberi ucapan selamat selain Thalhah.  Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan.  Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan bergembira.

"Bergembiralah engkau atas hari ini..! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu..!" kata Thalhah haru.

"Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah..?" aku bertanya sambil berupaya menyabarkan diri. "Bukan dariku..! Pengampunan itu datang dari Allah..!" jawab Rasulullah.

Demi Allah, belum pernah aku merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah SAW.

Ka'ab bin Malik lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu.  Sementara air matanya terus berderai membasahi kedua pipinya.

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja.  Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.  Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taubah : 118).

Alhamdulillah.

Sumber: kisahkisahislamiblog.
Share:

0 komentar:

Total Pengunjung

BTemplates.com

Followers

Contact Form

Name

Email *

Message *

Blog Archive

Apakah Blog ini Bermanfaat?

Blog Archive